SINYALBEKASI.COM - Hidup seorang perempuan bernama Sumiarsih, kelahiran Jombang tahun 1948. Ia dikenal cantik, pandai bicara, dan cepat meniti jalan di dunia malam. Sejak 1975, bersama suaminya Djais Adi Prayitno, ia membuka dua wisma:Happy Home dan Sumber Rezeki, tempat puluhan wanita muda dijajakan untuk pelanggan kelas atas.
Uang mengalir deras setiap malam, hingga namanya disegani di antara para mucikari.Ia dijuluki Mami Rose, ratu di balik pintu remang Dolly yang selalu penuh pengunjung.
Namun hidup mewah itu membawa Sumiarsih ke jalan berbahaya. Salah satu langganannya, Letkol Marinir Purwanto, menawarkan kerja sama bisnis dengan sistem bagi hasil. Setiap bulan, Sumiarsih wajib menyetorkan Rp25 juta,dan jika terlambat, dendanya bisa mencapai dua puluh persen.
Awalnya lancar, tapi ketika razia pemerintah membuat Dolly sepi, setoran mulai tersendat dan utang menumpuk.Purwanto mulai marah, menekan, bahkan mengirim orang-orangnya, untuk mengobrak-abrik wisma milik Sumiarsih.
Puncaknya terjadi saat Purwanto mengajukan syarat yang tak masuk akal. Ia menawari penghapusan utang, asal Sumiarsih mau menyerahkan putrinya sendiri, Rose Mey Wati, yang saat itu sudah bersuami dengan seorang anggota polisi. Permintaan itu membuat Sumiarsih hancur, malu, dan marah.Ia merasa terdesak, terhina, dan tak punya jalan keluar.
Malam itu, ia mengumpulkan keluarganya di Wisma Happy Home: suaminya Prayitno, anak laki-lakinya Sugeng, menantunya Adi Saputro, serta dua orang kerabat, Daim dan Nanok. Di ruang sempit itu, mereka menyusun rencana pembunuhan.
Tanggal 13 Agustus 1988, sekitar pukul 11 siang, mereka datang ke rumah Purwanto di Dukuh Kupang Timur, Surabaya. Awalnya diterima baik oleh istri Purwanto, Sunarsih, tapi begitu lengah, Sunarsih dan dua anaknya langsung dihantam dengan alu besi.
Satu per satu korban tewas di tangan mereka. Sore harinya, ketika Purwanto pulang dari kantor, ia pun diserang tanpa sempat melawan. Lima nyawa melayang sore itu tubuh mereka diseret, dimasukkan ke mobil Daihatsu Taft, dan dibawa ke hutan Songgoriti, Batu, Malang, sebelum akhirnya mobil itu dijungkirkan ke jurang 200 meter.
Keesokan paginya, seorang pencari kayu menemukan mobil dan jasad-jasad itu. Awalnya dikira kecelakaan, tapi hasil forensik menemukan kejanggalan:semua korban sudah meninggal sebelum mobil jatuh ke jurang. Polisi menelusuri sidik jari, hingga mengarah pada nama Sumiarsih dan Prayitno. Satu per satu pelaku ditangkap dan diadili.
Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan hukuman mati kepada empat orang: Sumiarsih, Sugeng, Prayitno, dan Adi Saputro.Sementara Nanok dan Daim dijatuhi hukuman seumur hidup. Adi Saputro dieksekusi pertama kali tahun 1992,Prayitno meninggal di tahanan tahun 2001 sebelum ditembak mati.
Setelah dua puluh tahun mendekam di penjara wanita Malang, Sumiarsih dan anaknya Sugeng akhirnya menjalani eksekusi. Dini hari 19 Juli 2008, dua regu Brimob Polda Jawa Timur bersiap di lapangan tembak. Enam peluru menembus tubuh Sugeng terlebih dahulu, disusul ibunya yang berdiri tenang beberapa meter di sebelahnya.
Keduanya dinyatakan tewas pukul 00.20 WIB, jenazah dibawa ke RSUD Soetomo Surabaya, lalu dimakamkan di TPU Samaan, Malang. Hanya satu orang keluarga yang hadir: Rose Mey Wati, putri yang dulu menjadi alasan utama tragedi berdarah itu.
Kini nama Sumiarsih tinggal cerita kelam dalam sejarah Surabaya. Dari gemerlap Dolly hingga liang tanah sunyi, perjalanannya mencerminkan sisi gelap ambisi dan keputusasaan manusia.Ia pernah disembah di dunia malam, tapi mati sebagai terpidana paling kejam tahun 1980-an.
Kisahnya menjadi peringatan bahwa uang, kuasa, dan dendam bisa menyeret siapa pun ke jurang yang tak ada jalan kembali. Di bawah tanah yang dingin di Samaan, terkubur legenda hitam sang Mucikari Gang Dolly, perempuan yang menukar hidupnya dengan darah dan penyesalan abadi.
(Unt)


